Tentang Senja - Chapter 2

Chapter 2 : Manulis Ulang Ceritaku

Tentang Senja


     Aku kembali mengecek ponselku, mungkin saja Ira membalas pesanku semalem. Tapi ternyata tida ada balasan darinya, hanya pesan-pesan yang tertumpuk dari group Whatsapp.

"Mau berangkat bareng gak? " aku mengirim pesan ke tania, menawarkan tumpangan gratis ke kampus. Jam menunjukan pukul 08.12 Tania belum membalas pesanku. Jarak ke kampusku memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 30 menit menggunakan kendaraan roda dua. Aku sudah siap tinggal menunggu Tania membalas pesanku, 10 menit tak membalas aku putuskan berangkat tanpa harus mampir ke rumahnya.

Tania membalas pesanku "Sorry.. Aku sudah di kampus, aku masuk kelas agak pagi"

Kebiasaan pasti dia belum mengerjakan tugasnya, aku dan Tania Kuliah dia kampus yang sama hanya berbeda Fakultas.

"Ris sorry tadi aku buru-buru soalnya," tania menghampiriku yang sedang duduk di kantin.

"Gpp santai aja, tugas apa lagi yang tidak kamu kerjakan," ejek ku kepada Tania, dia hanya tersipu malu.

"Ris kamu tahu gak? "

"enggak emang kenapa Ia? "

"Aku kan belum beres Ris ngomongnya."

"Iya kenapa? "

"Alvira"

"Aduh Ia jangan ngomongin itu dulu ya" Pintaku kepada Tania.

"Enggak kayanya kamu harus tau ini, aku harus bilang juga ke kamu."

"Apa, ada apa? " tanyaku.

"Tadi aku sempet ngobrol sama Rani, sahabatnya sekaligus sepupu Vira, kamu tahu kan? " aku hanya mengangguk.

"Aku denger Vira, keluar dari kampus ini dan melanjutkan kuliah di luar negeri, kalau gak salah di Singapura, kebetulan Orang tuanya juga pindah ke Singapura, dan ini penting dia pun sudah di jodohkan dengan rekan bisnis Ayah nya di Singapura."

    Entah mengapa saat itu juga dadaku tersa begitu sesak, aku harus menerima kenyataan yang begitu menyakitkan, air mataku sudah berada di ujung mata, aku cepat2 mengusapnya, menarik nafas panjang, dan hanya mengangguk mendengar cerita Tania.

"Kamu oke? Aku kembali hanya mengangguk.

"Adalagi ya, yang perlu aku tahu? "

aku tahu Tania belum bercerita semuanya.

"Tepat di bulan Desember nanti, mereka akan melangsungkan pernikahan, aku tidak tahu tanggal pastinya karena Rani pun tidak memberitahu, sekitar lima bulan lagi dari sekarang. " Aku sudah tak bisa menahan lagi tangisku, aku menangis, tanpa memperdulikan orang-orang disekelilingku. Tania memeluku mencoba menenangkanku, aku memeluknya erat menahan sakit yang semakin tak bisa aku kendalikan, orang-orang semakin memperhatikanku, mungkin terlihat aneh.

"Ris sudah OK? "

Aku hanya mengangukan kepalaku.

"Sorry aku gak ada maksud buat kamu sedih, cuma aku pikir ya kamu harus tahu tentang ini juga, ini kan menyangkut kamu juga. " Tania mengelus lembut kepalaku.

    Tania melepaskan pelukannya, memegang erat tanganku, "aku gak mau kamu sedih terus, belajar Ikhlas ya, dan semoga kamu dapat pengganti yang lebih baik."

    Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk, aku paham maksud Tania, dia tidak bermaksud menambah kesedihanku, dia hanya ingin aku mengetahui sesuatu yang memang perlu aku ketahui, agar kesedihanku tidak semakin berlarut-larut dan tidak lagi mempertanyakan alasan Alvira memutuskan hubungannya denganku.

    Dirumah aku hanya mengurung diri di kamar, Ummi berulang kali menanyakan apakah aku sudah makan atau belum, aku hanya menjawab sudah. Jam sudah menunjukan pukul 19.30 malam, kudengar suara pintu diketuk dan ucapan salam berkali-kali di pintu rumahku, "apa tidak ada yang membuka pintu, " pikirku. "Kurasa Ummi sedang menunaikan ibadah Shalat Isya," aku beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintu rumah.

"Assalamualikum" semakin terdengar jelas seseorang sedang menunggu di bukakan pintu, aku bergegas membuka pintu dan menjawab salam. "Abiii" aku sangat terkejut ternyata Abiku pulang, aku meraih tangannya dan mencium punggung dan telapak tangannya.

"Sehat jang?" abi menanyakan kabarku

"Alhamdulillah sehat, sawangsulana, Abi kumaha sehat?" (Alhamdulillah sehat, Abi gimana sehat?)

"Sae alhamdulillah, Ummi kamana?"

(Baik, alhamdulillah, Ummi kemana?)

"Nuju netepan Abi, sakedap Aris pangnyandakeun cai haneut Bi" (Sedang sholat Abi, sebentar Aris bawakan air minum hangat Bi)

"Mangga Abi, dileeut" (Silahkan Abi, diminum)

Aku menyajikan air hangat untuk Abi, terlihat wajahnya yang lelah karena menempuh perjalanan jauh, Abi bekerja di luar pulau jawa, dan biasanya beliau pulang setiap 3 bulan sekali.

"Kumaha kuliah, lancar? " 

(Bagaimana kuliahmu, lancar? "

"Lancar Abi"

"Eh gening Abi, naha teu ngawartosan bade uih, Ummi teu pusak-pasak" (Eh ternyata Abi, kenapa gak kasih kabar kalau mau pulang, Umi gak masak apa-apa)

    Umi menghampiri Abi mencium tangan dan memeluknya, aku merasa senang melihat mereka berdua saling melepas rindu. Akupun segera pamit dengan alasan masih ada tugas yang belum aku selesaikan. Aku hanya belum bisa mengontrol kesedihanku, aku hanya menuangkan kesedihanku melalui puisi-puisi yang selalu ku tulis di buku catatanku. Sesekali merenung meratapi kesedihanku. Aku sedikit terkejut ketika pintu kamarku di ketuk, ternyata Abi, aku mempersilahkannya masuk, abi duduk di sebelahku.

"Kunaon, saur Ummi Aris murung wae, nuju gaduh masalah? " (Kenapa, umi bilang kamu murung terus, lagi ada masalah?

    Aku hanya menggelengkan kepalaku, menundukan wajah, aku tidak ingin Abi melihatku menangis, apalagi karena seorang wanita. Abi memeluku erat mengusap-ngusap kepalaku, menasehatiku dengan perkataan yang halus, lembut dan penuh kasih.

Baca Juga : Chapter 1 : Ketika Semua Berakhir

"Jangan biarkan masalahmu mengendalikan akal sehatmu, jangan jadikan tangis yang menjadi temanmu, kamu tidak pernah benar-benar sendiri sekalipun dunia tak melihatmu"

Cerpen : Tentang Senja

Karya : Ujang Nurjaman

Baca Juga : Chapter 3 : Melepaskan


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel