Cerpen "Menanti Senja"

Cerpen "Menanti Senja"Cerita ini saya tulis berdaarkan pengalaman teman saya sendiri, yah mungkin ada sedikit yang di lebihkan tapi tidak berlebihan. ini sudah saya publish beberapa tahun lalu tapi sengaja saya publish lagi di blog saya yang baru, ini bisa saja berseri atau langsung bersambung, selamat membaca.
Penantian adalah akhir cerita

Senja 1
            “Selamat pagi, sudah makan?” itulah pesan yang sering ku terima setiap pagi, suatu bentuk perhatian kecil dari suamiku yang teramat sangat membuatku mual tiap pagi. Bukan karena aku sedang hamil, tetapi bagaimana rasanya ketika kita mendapatkan perhatian dari orang yang tidak di harapkan, dan bagaimana mungkin aku bisa hamil sampai saat ini kami belum pernah berhubungan badan, hanya sebatas tidur satu ranjang saja, Alhamdullilah. Rasid Ibrahim itulah nama suamiku, dia menikahiku 23 November 2014 lalu, sampai saat ini 17 Mei 2015 artinya usia pernikahan kami belum genap enam bulan. Aku tidak pernah membayangkan aku akan menghabiskan hidupku dengan orang yang tidak aku cintai, ingin rasanya aku mengajukan gugatan cerai atas dasar sudah tidak cinta, mungkin tepatnya tidak pernah cinta. Sayang nya tidak bisa, pernikahan ini terjadi karena kehendak  keluargaku, Ayah, Ibu, Ka Arni, dan Abangku Yusuf. Ya inilah jodoh yang Tuhan berikan kepadaku walapun tidak aku inginkan, saat ini usiaku baru 21 tahun masih banyak hal yang ingin  aku capai, “Rani betapa bodohnya kamu mau menikahi pria yang usianya 20 tahun lebih tua darimu” ya itulah yang setiap hari aku pikirkan. Mas Rasid adalah seorang duda yang di tinggal mati oleh istrinya, untunglah dari pernikahan sebelumnya dia tak memiliki keturunan aku belum siap di panggil ibu, dia adalah rekan bisnis Ayahku, Ayahku seorang Developer properti, perusahaan yang ia dirikan sendiri saat usianya menginjak 38 tahun. Dulunya dia adalah arsitek Ayahku, tapi semenjak di tinggal mati istrinya du tahun yang lalu, dia memutuskan untuk berkarir di negara Malaysia.
            Aku sudah di peristri oleh seorang lelaki, tetapi aku masih merasa sendiri, pasalnya  baru saja menikah satu bulan, mas Rasid sudah harus berangkat lagi ke Malaysia, karena ada proyek yang harus dia selesaikan. Aku masih bisa berangkat kerja tanpa harus menyiapkan makan untuk suamiku, yah hanya statusku saja yang berubah tapi kehidupanku tak berubah seperti apa yang ku bayangkan, dalam bayanganku mas Rasid akan membawaku ke Malaysia setelah menikah, untunglah itu tidak terjadi. “Ran kapan mas Rasid pulang, bukanya dia pulang enam bulan sekali?” pertanyaan dari ibuku saat aku tengah asik menyantap sarapan pagiku, “Mas Rasid belum memberitahuku bu” jawabku singkat. Tuhan bagaimana aku bisa lupa, bahwa laki-laki itu akan pulang setiap enam bulan sekali, tidak ini mimpi buruk. “Ran kamu ko melamun dari tadi” tegur Dewi, ”Rani kan pengantin baru, bisa jadi dia merindukan suaminya” ucap Setyo, tawa pun pecah di ruangan yang berukuran 5x8 m dengan 6 orang gila yang tidak hentinya mengejeku setiap waktu, baik tentang status ku atau usia suamiku yang 20 tahun lebih tua dariku. Walaupun begitu aku merasa terhibur dengan adanya mereka, Aku, Dewi, Ari, Setyo, Salwa, Nina, dan Adam adalah teman kuliah dulu. Kami lulus satu tahun yang lalu, dan membuat usaha bersama di bidang pengembang aplikasi. Sangat menyenangkan ketika kita bekerja dengan orang-orang yang sudah lama kita kenal, apalagi sahabat sendiri, banyak hal sulit yang kita lewati tapi terasa tidak ada hambatan sama sekali.

“Mas apa kabar? Bagaimana pekerjaanmu? Bukannya enam bulan sekali mas pulang ke Indonesia, kapam mas pulang? Ibu kemarin bertanya.” aku mengirim pesan singkat, untuk pertama kalinya selama kami berjauhan, dengan bahasa yang agak sedikit kaku. Bagiku agak sedikit aneh mengirimkan pesan, biasanya mas Rasid yang selalu menghubungiku lebih dulu, ya sudahlah walaupun dia mungkin akan merasa aneh menerima pesanku, aku harap dia tak berpikir apa-apa. Apalagi dia berpikir aku merindukannya, oh tidak mungkin sepertinya aku tidak akan merindukannya. Selama dia pergipun aku biasa saja, tidak ada perasaan yang aneh.

“Saya senang sekali kamu menanyakan kabar saya, walaupun atas nama Ibu. Sampaikan pada ibu!! Saya baik-baik saja, Alhamdullilah pekerjan saya pun berjalan dengan lancar, Ingsyaallah awal bulan saya pulang, tanggal dua juni.” Begitulah isi pesan balasan dari suamiku, sepertinya dia tersinggung atau mungkin marah dengan pesanku, ahhh bodohnya aku, kenapa aku bawa-bawa nama Ibu. Tapi ya apa peduliku, tapi di ajaran agamaku perempuan yang membuat suaminya tersinggung itu dosa, jangankan membuat marah, keluar rumah tanpa izin suami pun sudah termasuk dosa. Aku mulai merasa tidak enak, tapi ya sudahlah biarkan saja.
            Hari sabtu ini, hari liburku dari rutinitas kerja, aku berencana untuk jalan, nonton, makan-makan, pergi ke salon, dan kegiatan perempuan pada umumnya. Setelah aku bangun aku mengecek ponselku, tidak ada pesan dari mas Rasid seperti biasanya, apa dia marah karena pesanku kemarin, aku semakin merasa tidak enak kepada mas Rasid. Mendadak aku malas keluar rumah, aku memilih menonton televisi saja di rumah, aku terus memikirkan mas Rasid yang mungkin marah. Sudah hampir tiga hari sejak kejadian pesan singkat itu, mas Rasid tidak pernah menghubungiku lagi, apa benar dia sungguh marah, aku merasakan ada yang aneh aku seperti kehilangan sesuatu, kehilangan perhatiannya di setaip pagi yang selalu menyapaku, dan di setiap menjelang tidur pulasku. Maafkan aku mas, aku tak ada maksud lain hanya sampai saat ini aku belum bisa menerimamu, sungguh aku sangat merasa berdosa.”Wi aku mau ketemu di tempat biasa ya!!” aku mengirim pesan kepada sahabatku, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku yang ingin aku utarakan. ”Ok,,, mungkin agak sorean kali ya Ran, soalnya gue ada janji sama orang, jam 5 sore ya.” Dewi membalas pesan singkatku.
“Loh kenapa sih Ran? Mendadak ngajak ketemuan gini, ada masalah sama suami lo? Biasanya ga loh pikirin”
“Aku gak tau Wi, udah tiga hari mas Rasid gak ngasih kabar, mungkin dia marah”
“Ko bisa? Keliatanya si suami Loh bukan orang yang mudah marah”
“Ya,,, gimana dong Wi? Aku kepikiran terus”
“Gue si saran aja ya Ran, mungkin Loh harus mulai menerima Rasid sebagai suami loh, kalian kan udah hampir satu tahun nikah, mau sampai kapan loh kaya gini terus”
“Aku tau Wi, tapi gimana ya sekarang apa aku minta maaf aja?”
“Saran gue si ya Ran, nanti kalau dia pulang, loh perbaiki hubungan sama dia.”

Semenjak ada obrolan dengan Dewi aku terus kepikiran, untuk memperbaiki hubungan dengan mas Rasid. “Kamu kenapa? Ko ngelamun Ran.” Suara ka Arni mengejutkanku dari lamunan. Aku langsung memeluk tubuh ka Arni, kakak perempuanku satu-satunya. Membuat ka Arni kebingungan dengan tingkahku, dia terus bertanya ada apa denganku, sampai-sampai aku menangis tersedu-sedu.
“Kamu kenapa Ran, ga biasanya kamu murung gini, malah nangis lagi”
“Ka,, kayanya mas Rasid marah sama aku, soalnya udah hampir lima hari ga ngasih kabar”
“Udah kamu jangan nangis, Kakak ambilin minum ya” ka Arni mengambilkan air minum untukku, akupun mulai merasa sedikit tenang, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku, setelah beberapa hari mas Rasid tidak menghubungiku.
“Ran, kakak tau kamu belum bisa menerima Rasid sepenuhnya, tapi kalau kakak boleh kasih masukan, kamu harus mulai kasih perhatian lebih. Bagaimanapun itu suami kamu, kamu harus belajar jadi istri yang baik, nantinya kamu kan akan jadi seorang Ibu  juga Ran.”
“Tapi ka, sampai saat ini kami belum pernah berhubungan badan, dari awal kami sah menjadi suami istri sampai mas Rasid berangkat ke Malaysia tidak pernah terjadi hubungan badan, hanya sebatas tidur satu ranjang.”
“Ran kamu kan sudah tahu kewajiban seorang istri, jika seorang istri menolak berhubungaan badan dengan suami maka laknat baginya, kamu kan tahu itu.”
Aku semakin menangis sejadi-jadinya mendengarkan ucapan kakakku, aku takut dengan laknat tuhanku terhadap istri yang tidak bisa membahagiakan suaminya. Sejak saat itu aku terus merenung, dan mencoba memperbaiki sikapku terhadap suamiku, mencoba menyediakan ruang untuk bisa menerimanya, dan aku mencoba menerima perbedaan di antara aku dan mas Rasid. Menikah di usia 21 tahun pun sudah bukan hal yang buruk bagiku.
            Hari ini mas Rasid maksudku suamiku akan pulang, walaupun aku agak sedikit gugup pasalnya kita sudah jarang berkomunikasi, dia sudah jarang menghubungiku sejak kejadian itu, aku pun tidak berani menghubunginya lebih dulu karena malu. Tapi semalam aku memberanikan diri untuk menelpon suamiku supaya ketika aku bertemu aku tidak terlalu canggung.
“Assalamualaikum mas?”
“Waalaikumsallam”
“Mas apa kabar?”
“Alhamdullilah saya baik, kamu apa kabar?”
“Rani..mmmmm eh”
“Kamu kenapa?”
“Rani baik juga mas, mas Rasid besok jadi pulang?”
“Iya ingsaallah, ini saya lagi beres-beres.”
“Iya,, kalau gitu hati-hati di jalan ya mas, Assalamualaikum mas?”
“iya, Waalaikumsallam.”
Tuhan jantungku terasa mau copot, aku sangat gugup sekali saat itu, aku berharap dia sampai di sini dengan selamat. Aku hari ini sengaja tak masuk kerja, aku membersihkan rumah, merapihkan kamarku, di bantu dengan Ibu dan asisten rumah tangga, aku ingin menyambut suamiku pulang. Sore nanti dia sampai di Indonesia, sebetulnya aku bingung bagaimana kalau aku betemu nanti, bagaimana aku bersikap, kata apa yang harus aku ucapkan nanti. “Bu ko aku ga lihat Ayah dari tadi.” Aku bertanya pada Ibuku karena sejak tadi aku tak melihat Ayahku, “Ayahmu kan pergi ke kantor Ran, nanti dia jemput suamimu di Bandara.” Jawab Ibuku. Aku sudah tidak bisa menyembunyikan lagi kegelisahanku, sampai-sampai Ibu aneh dengan tingkahku, yang hilir mudik kesana kemari menunggu suamiku pulang, ya suamiku siapa lagi yang aku tunggu.
            Aku dan Ibuku menunggu bermenit-menit kedatangan ayahku di ruang tengah, Ayah sudah menjemput mas Rasid dari Bandara dari tadi. Tid, tid suara kelakson mobil Ayahku, aku semakin gugup aku dan Ibu langsung menuju halaman rumahku, aku melihat Ayahku berjalan menghampiri kami, di susul mas Rasid di belakang, membawa koper di tanganya dengan tersenyum ramah ke arah kami. Aku meraih tangan mas Rasid dan mencium punggung tangannya, dia mengelus halus kepalaku dan mencium keningku. Ada perasaan aneh dalam hatiku, ingin sekali aku memeluk tubuhnya yang tegap di balut jas hitam yang membuatnya sangat tampan, Astagfirullah apa tidak dosa aku memandang suamiku dengan nafsu. Sungguh di usianya yang menginjak kepala empat dia masih terlihat sangat tampan dan gagah. apakah aku mulai mengaguminya? Tapi bagaimana bisa kekaguman itu muncul saat kami berjauhan, dan jarang berkomunikasi. “Man bawakan koper mas Rasid ke kamarnya ya” Ibuku menyuruh Dirman mengantar koper mas Rasid, “ke kamarku” spontan aku mengucapkan kata itu, bodohnya jelas saja ke kamarku koper itu di antar, aku merasa sangat malu “Bu aku ke belakang ambilkan minum untuk mas Rasid” dengan malu aku  menuju dapur untuk mengambilkan minum untuk suamiku yang baru duduk di sopa ruang tengah. “Kenapa aku kehilangan fokus seperti ini, aku harus biasa bersikap biasa” gerutuku dalam hati, aku semakin pusing dan bingung. “diminum mas” aku menyodorkan segelas air putih, “ko Ayah ga di ambilin Ran?” sahut ayahku membuat aku semakin gugup, tanpa mengucapkan kata apapun aku mengambilkan air untuk Ayahku yang sepertinya ke hausan. Ayah dan Ibuku terus mengobrol sampai-sampai aku hanya menjadi pendengar saja, “Yah sudah, Rasid mungkin lelah biarkan dia beristirahat, Ran ajak suamimu ke kamar biarkan dia istirahat” ujar ibuku, “ke kamar? Aku,,, eh kamar yah” ibuku mengerutkan dahinya keheranan melihat tingkahku, “mari mas” ajaku.
            Aku mengambilkannya handuk dan pakaian ganti dari lemari, dan mempersilahkannya untuk mandi. ”mas ini handuknya, baju gantinya aku simpan di atas kasur ya” dia hanya menganguk sambil membuka bajunya, mengambil handuk kemudian masuk ke kamar mandi. Aku menunggunya di sopa karena tidak enak jika keluar dari kamar, beberapa menit dia keluar dan langsung membuka lemari bajunya, aku memalingkan pandanganku ke sudut kamarku yang lain, hatiku dak dik duk tak menentu entah apa yang ada dalam bayanganku saat ini. “Saya pakai baju yang kamu siapkan nanti malam saja, kalau mau tidur ya” apa yang aku pikirkan aku malah menyiapkan baju tidur untuk dia kenakan, pantas saja dia memakai baju lain ini baru jam 15.00 masa iyah dia mau tidur, bodohnya aku, aku semakin tak bisa mengendalikan diriku lagi. Aku hanya menganguk menanggapi ucapannya, lalu apa yang akan kita lakukan di kamar ini berdua. “Saya mau jalan keluar, kamu mau ikut” aku hanya menganguk entah mengapa aku menjadi sangat penurut. Saat di mobilpun tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulutku dan mas Rasid. Kita hanya terdiam mas Rasid fokus mengemudikan mobil, aku pun tidak berani memulai obrolan, padahal aku ingin tahu kenapa dia tidak memberi kabar sewaktu di sana. “Aku dengar dari Ibu, kau sangat sibuk belakangan ini?” Ibu bagaimana bisa, apakah ini alasanya dia tidak mengabariku, karena tahu aku sedang sibuk.
“Tapi kan bukan menjadi alasan mas untuk tidak menghubungiku”
“Saya tidak mengerti, seharusnya itu kan tidak menjadi masalah bagimu, baik memberi kabar atau tidak itu kan tidak ada bedanya, selama ini saya tahu kabarmu dari ibu, itu sudah cukup. Sepertinya kamupun tidak mau tahu tentang kondisi saya, saya tahu kamu tidak bisa menerimaku sebagai suamimu, bagaimana seorang gadis belia seusiamu mau menikahi laki-laki yang terpaut 20 tahun usianya darimu.” Terasa tersambar petir di siang bolong, hatiku terasa sakit mengetahui pandanganya terhadapku seperti itu, memang ini salahku selama dia jauh dariku aku tidak pernah sekalipun mengabarinya dan memberikan perhatian, tapi tetap saja rasanya sakit, aku sudah berusaha memberikan ruang di hatiku untuk mas Rasid sampai akhirnya aku mulai mencintaimu mas, ingin aku mengucapkan itu. Aku sangat ingin menangis, aku memintanya meminggirkan mobil, tanpa mengucapkan apapun aku keluar dari mobil dan menghentikan Taxsi aku berpikir untuk pulang saja. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis merasakan sakit dari perkataan yang keluar dari mulut mas Rasid. Aku langsung menuju kamarku dan menangis sejadi-jadinya.
            Aku mendengar ada yang mengetuk pintu kamarku, jam 21.00 itu pasti suamiku dan dia baru pulang darimana saja mas Rasid, aku membukakan pintu kamarku dan kembali membaringkan tubuhku membelakanginya, beberapa saat dia membaringkan tubuhnya di sampingku. Aku terus menghela napas, aku ingin meminta maaf dengan kejadian tadi sore, tapi mulutku kaku sampai tak bisa menderu. Aku sangat terkejut ketika aku terbangun, tanganku melingkat di perut mas Rasid, tuhan aku malu sekali aku memeluknya, aku segera bangun dan mas Rasid pun terbangun terganggu dengan pergerakankku, “maafkan saya mas” aku langsung menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, aku sangat malu sekali. Sambil menunggu mas Rasid untuk menjalankan shalat subuh berjamaah aku menunaikan shalat sunat terlebih dahulu. Ini bukan kali pertamanya aku shalat berjamaah bersama mas Rasid. Setelah shalat subuh aku langsung bergegas untuk mandi, karena hari ini aku harus kembali bekerja, aku melihat mas Rasid keluar dari kamar tanpa mengatakan apapun padaku. Hubungan kami semakin memburuk karena tidak saling bicara, sama seperti kali pertama aku sah menjadi istri mas Rasid kami pun tak banyak bicara. Saat sarapan pagi pun dia hanya asik mengobrol dengan Ayahku, seolah tak menganggap keberadaanku, aku semakin merasa sakit dengan sikapnya terhadapku, mungkin itu yang selama ini dia rasakan. Tidak berlama-lama aku berpamitan untuk berangkat kerja, dengan keadaan Jakarta yang macet membuatku harus berangkat lebih awal, supaya rekan-rekanku tidak mengomeliku karena terlambat. “Saya antar ya.” mas Rasid menawarkan dirinya untuk mengantarku, dan aku hanya mengangguk.
”Saya minta maaf ya soal kemari, saya terlalu emosional” mas Rasid membuka pembicaraan dengan meminta maaf dan membuatku hanya bisa mengangguk. Dari sana aku menemukan sisi lain dari mas Rasid aku melihat cinta yang besar dimatanya untuku, entah karena aku terlalu ke geeran atau memang itu nampak jelas dari matanya. “Nanti saya jemput lagi kamu ya,  kasih tau saya satu jam sebelum kamu keluar ngantor” dan lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk.
            Sudah 15 menit aku menunggu mas Rasid menjemputku, “Ran aku duluan ya” Dewi melambaikan tangannya padaku, dan akun hanya mengangguk. Sudah setengah jam aku menunggu, sebetulnya dia mau menjemputku ata tidak, “Maaf saya lama” dia membukakan pitu untuku dan mengisyaratkanku untuk masuk.
“Bagaimana pekerjaanmu?”
“Alhamdullilah lancar”
”Tanggal 13 nanti saya harus kembali ke Malaysia, Saya sudah bilang Ayah dan Ibu saya mau mengajak kamu, itupun kalau kamu mau menemani saya,”
“mas aku minta maaf aku ga bisa, aku ga bisa jauh dari Ayah dan Ibuku mereka kan sudah berumur walaupun Ayah masih terlihat sangat sehat tapi di usianya yang ke 59 aku sangat khawatir”
“Yah,, saya mengerti”
“mas jangan marah yah”
“Ga apa-apa saya paham ko, mereka orang tua saya juga, apalagi saya sudah tidak punya orang tua, yang saya punya hanya keluarga kamu saja” 
Aku pun hanya mengangguk saja, mas Rasid memang sudah tidak memiliki keluarga lagi di Jakarta adapun pamannya menetap di Kalimantan, jadi sangat sulit untuk mas Rasid menemui pamannya, apalagi mereka tidak terlalu dekat secara personal. Hanya tinggal menghitung hari sampai kepergian mas Rasid ke Malaysia,aku pun sudah membicarakan dengan Ayah dan Ibu bahwa aku tidak akan ikut bersama suamiku, awalnya Ibuku keberatan dengan keputusanku, setelah aku jelaskan ibu mau mengerti dan paham akan keputusanku. Di hari-hari sebelum suamiku kembali ke Malaysia hubungan kami mulai membaik, rasa cintaku pun semakin tumbuh semakin banyak ruang di hatiku untuk mas Rasid, akupun semakin merasa sulit jika aku harus jauh lagi darinya, jauh dari pria tua yang menjadi suamiku, yah walau tidak setua itu hanya terpaut 20 tahun saja, apalah arti sebuah angka.
”kenapa kamu belum tidur, dari tadi hanya berganti-ganti posisi”
“Iya mas, kenapa mas belum tidur?”
“sulit sekali aku meninggalkanmu dan keluargamu lagi,”
“walaupun kamu belum bisa menerima mas, tapi sungguh mas sangat mencintaimu”
Aku membalikan tubuhku membelakangi mas Rasid, aku sangat terkejut tangannya melingkat erat memeluku, pertamakalinya dia memeluku, pertamakalinya dia bicara sudah tidak kaku menggunakan kalimat “Saya” di tertidur sangat pulas dengan memeluku dan aku hanya bisa menatapnya. Jam sudah menunjukan puku 04.00 pagi aku membangunkan mas Rasid yang masih tertidur lelap, dia pun terbangun dan langsung menuju kamar mandi karena jam 09.00 nanti, dia sudah harus ada di Bandara, ada perasaan berat untuk melepaskanya. Ini salat subuh berjamaah terakhir dengan suamiku. Hampir dua minggu dia ada di Indonesia banyak hal yang kita lalui bersama, tapi tetap saja ada yang kurang dari diriku, sampai saat ini kami hanya tidur sebatas satu ranjang dan aku sebagai seorang istri belum sepenuhnya melayani suamiku, dia meminta sampai aku bisa menerimanya dengan ikhlas dia tidak akan menyentuhku dia tak ingin aku terpaksa menerimanya, tapi sungguh mas aku mencintaimu, dan aku sudah ridho menerimamu sebagai suamiku, ingin sekali aku mengatakan itu. Mengatakan bahwa aku mencintaimu mas Rasid Ibrahim, orang yang memberiku rasa aman dan nyaman saat bersamanya.
            Jam menunjukan pukul 08.30 pagi, dan aku bersama keluargaku sedang menunggu keberangkatan suamiku, waktu terasa semakin sempit dan semakin berat. Pengumuman penerbangan ke Malaysia pun sudah di umumkan suamiku pun beranjak dan berpamitan. Aku menyalaminya ingin rasanya aku memeluknya, dia mengecup keningku dan berlalu meninggalkanku, aku hany melihat punggungnya yang semakin menjauh, entah mengapa tiba-tiba kakiku bergerak sendiri dan mengejarnya, aku memeluk tubuhnya erat dan aku tidak ingin melepaskanya. “kamu kenapa?”
Dia tampak kebingungan ketika aku memeluknya dan menghentikan kepergiannya, dan aku hanya menangis tersedu-sedu dengan memeluk tubuhnya semakin erat, dia berbalik dan menghapus air mataku, mencium keningku dan memeluku dengan erat. “Mas tolong jangan tinggalkan aku lagi, aku butuh kamu disini,” aku melarangny untuk pergi.
 “Iya tapi kenapa? Kamu kan tahu mas harus menyelesaikan pekerjaan mas di sana, sebelumnya kan mas sudah mengajakmu, kamu yang memutuskan tidak ikut.”
Yah aku tuhu mas, tapi..... ya sudah kamu jaga diri baik-biak disana.”
Mas Rasid hanya menganguk, mencium lembut kening ku, aku belum ikhlas melepaskan kepergiannya, akupun tak berani mengungkapkan rasa sayangku kepadanya. Aku mencintainya, dia telah menjadi bagian yang berharga bagiku, aku akan menunggumu pulang, tak kisah berapa musim berlalu, aku tetap disini dalam penantian walau senja tak membawamu.

Cinta tumbuh karena terbiasa
Semula tak kurasakan apa-apa hingga akhirnya rasa cinta itu datang

Penulis adalah seorang pria  yang lahir di kota Cianjur, tanggal 09 September 1996, dengan dianugrahi nama Ujang Nurjaman, kebanyakan orang memanggil Uj, penulis bertempat tinggal di Komplek Telkom Mulyaharja Bogor Selatan, tercatat sebagai karyawan di perusahan developer property. Mulai aktif menulis sejak duduk di bangku SMP dengan karya pertamanya berupa puisi yang berjudul Guru, penulis sangat gemar sekali membaca dan bernyanyi. Jika berkenan berkenalan dengan penulis silahkan kunjungi facebook penulis Ujang Nurjaman Septoadjie, Gmail ujangnurjaman14@gmail.com, atau kakangnurjaman07@gmail.com.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel